Selasa, 20 Maret 2012

TUGAS IBD : Organisasi Politik


1.    Pengertian

Organisasi politik adalah organisasi atau kelompok yang bergerak atau berkepentingan atau terlibat dalam proses politik dan dalam ilmu kenegaraan, secara aktif berperan dalam menentukan nasib bangsa tersebut.

Organisasi politik dapat mencakup berbagai jenis organisasi seperti kelompok advokasi yang melobi perubahan kepada politisi, lembaga think tank yang mengajukan alternatif kebijakan, partai politik yang mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai suatu sistem politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap.

Organisasi politik merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berkepentingan dalam pembentukan tatanan sosial pada suatu wilayah tertentu oleh pemerintahan yang sah. Organisasi ini juga dapat menciptakan suatu bentuk struktur untuk diikuti.

2.    Sistem politik di Indonesia

Menurut David Eston dalam A Systems Analysis of Political Life, mengatakan bahwa "Sistem Politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat.

Ciri-ciri sistem (menurut Elias M Award) meliputi:
1. Terbuka
2. Terdiri dari dua atau lebih subsistem
3. Saling ketergantungan
4. Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya
5. Kemampuan untuk mengatur diri sendiri
6. Tujuan dan Sasaran

Dengan ciri umum tersebut jelaslah bahwa inti dari sistem adalah berorientasi pada tujuan dan perilakunya. Secara umum, tujuan tersebut adalah menciptakan atau mencapai sesuatu yang berharga / bernilai.

3.    Peran partai politik

1.    Peran Sebagai Wadah Penyalur Aspirasi Politik

Pada awal kemerdekaan, partai politik belum berperan secara optimal sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi politik rakyat. Hal ini terlihat dari timbulnya berbagai gejolak dan ketidak puasan di sekelompok masyarakat yang merasa aspirasinya tidak terwadahi dalam bentuk gerakan-gerakan separatis seperti proklamasi Negara Islam oleh Kartosuwiryo tahun 1949, terbentuknya negara negara boneka yang bernuansa kedaerahan.
Negara-negara boneka ini sengaja diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.
Pada fase berikutnya dalam sejarah perjalanan bangsa yaitu masa Orde Lama, peran organisasi politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat juga belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. organisasi politik cenderung terperangkap oleh kepentingan partai atau kelompoknya masing-masing dan bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Sebagai akibat daripadanya adalah terjadinya ketidak stabilan sistem kehidupan politik dan kemasyarakatan yang ditandai dengan berganti-gantinya kabinet, organisasi politik tidak berfungsi dan politik dijadikan panglima, aspirasi rakyat tidak tersalurkan akibatnya kebijaksanaan politik yang dikeluarkan saat itu lebih bernuansa kepentingan politik dari pada kepentingan ekonomi, rasa keadilan terusik dan ketidak puasan semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan jargon politik, tapi tidak disertai dengan upaya memberdayakan pendidikan politik rakyat.
Di zaman pemerintahan Orde Baru, peran organisasi politik dalam kehidupan berbangsa dicoba ditata melalui UU No. 3 Tahun 1973, partai politik yang jumlahnya cukup banyak di tata menjadi 3 kekuatan sosial politikyang terdiri dari 2 partai politik yaitu PPP dan PDI serta 1 Golkar. Namun penataan partai politik tersebut ternyata tidak membuat semakin berperannya partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat. organisasi politik yang diharapkan dapat mewadahi aspirasi politik rakyat yang terkristal menjadi kebijakan publik yang populis tidak terwujud. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan publik yang dihasilkan pada pemerintahan orde baru ternyata kurang memperhatikan aspirasi politik rakyat dan cenderung merupakan sarana legitimasi kepentingan penguasa dan kelompok tertentu. Akibatnya pembangunan nasional bukan melakukan pemerataan dan kesejahteraan namun menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan peran organisasi politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat oleh pemerintahan orde baru tidak ditempatkan sebagai kekuatan politk bangsa tetapi hanya ditempatkan sebagai mesin politik penguasa dan assesoris demokrasi untuk legitimasi kekuasaan semata. Akibatnya peran partai politik sebagai wadah penyalur betul-betul terbukti nyaris bersifat mandul dan hampir-hampir tak berfungsi.
Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan proses perubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan. Harapan peran partai sebagai wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye Pemilu yang masih diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasi rakyat dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan. Mirip dengan fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan slogan slogan kepentingan politik sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan keran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi, namun terpenuhi secara maksimal. Aspirasi rakyat belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan konsisten. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik distorsi yang datangnya dari elit politik, penyelenggara negara, pemerintah, maupun kelompokkelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah dan negara tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan muncul kecenderungan yang mengarah anarchis walaupun polanya tidak melembaga dan lebih banyak bersifat kontekstual.

2.    Peran sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap, dan dilakukan oleh bermacam-macam agens, seperti keluarga, saudara, teman bermain, sekolah (mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi), lingkungan pekerjaan, dan tentu saja media massa, seperti radio, TV, surat kabar, majalah, dan juga internet. Proses sosialisasi atau pendidikan politik Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan masyarakat madani (civil society). Yaitu suatu masyarakat yang mandiri, yang mampu mengisi ruang publik sehingga mampu membatasi kekuasaan negara yang berlebihan. Masyarakat madani merupakan gambaran tingkat partisipasi politik pada takaran yang maksimal. Dalam kaitan ini, sedikitnya ada tiga alasan utama mengapa pendidikan politik dan sosialisasi politik di Indonesia tidak memberi peluang yang cukup untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat.
Pertama, dalam masyarakat kita anak-anak tidak dididik untuk menjadi insan mandiri. Anak-anak bahkan mengalami alienasi dalam politik keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si anak, merupakan domain orang dewasa.
Kedua, tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat kita sangat rendah. Di kalangan keluarga miskin, petani, buruh, dan lain sebagainya, tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi, karena mereka lebih terpaku kepada kehidupan ekonomi dari pada memikirkan segala sesuatu yang bermakna politik..
Ketiga, setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai alternatif lain kecuali mengikuti kehendak negara, termasuk dalam hal pendidikan politik. Jika kita amati, pendidikan politik di Indonesia lebih merupakan sebuah proses penanaman nilai-nilai dan keyakinan yang diyakini oleh penguasa negara.

3.    Peran sebagai Sarana Rekrutmen Politik

Peran organisasi politik sebagai sarana rekruitmen politik dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat, adalah bagaimana partai politik memiliki andil yang cukup besar dalam hal:

1)   Menyiapkan kader-kader pimpinan politik
2)   Selanjutnya melakukan seleksi terhadap kader-kader yang dipersiapkan
3)   Perjuangan untuk penempatan kader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki kredibilitas yang tinggi, serta mendapat dukungan dari masyarakat pada jabatan jabatan politik yang bersifat strategis.

Rekrutmen politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat banyak untuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi setiap warga negara. Kesalahan dalam pemilihan kader yang duduk dalam jabatan strategis bisa menjauhkan arah perjuangan dari cita-rasa kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakat luas. Oleh karena itulah tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwa rekrutmen politik mengandung implikasi pada pembentukan cara berpikir, bertindak dan berperilaku setiap warga negara yang taat, patuh terhadap hak dan kewajiban, namun penuh dengan suasana demokrasi dan keterbukaan bertanggung jawab terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun bila dikaji secara sekilas sampai dengan saat inipun proses rekrutmen politik belum berjalan secara terbuka, transparan, dan demokratis yang berakibat pemilihan kader menjadi tidak obyektif. Proses penyiapan kader juga terkesan tidak sistematik dan tidak berkesinambungan. organisasi politik dalam melakukan pembinaan terhadap kadernya lebih inten hanya pada saat menjelang adanya event-event politik; seperti konggres partai, pemilihan umum, dan sidang MPR. Peran rekrutmen politik masih lebih didominasi oleh kekuatan-kekuatan di luar partai politik. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja pembinaan, penyiapan, dan seleksi kader-kader politik sangat boleh jadi tidak berjalan secara memadai.

4.    Peran sebagai Sarana Pengatur Konflik

Yang dimaksud dengan konflik atau pertentangan mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih luas dari apa yang biasanya dibayangkan oleh kebanyakan orang. Secara umum kita sering beranggapan bahwa konflik mengandung benih dan didasarkan pada pertentangan yang bersifat kasar dan keras. Namun sesungguhnya, dasar dari konflik adalah berbeda-beda, yang secara sederhana dapat dikenali tiga elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik yaitu:

1)      Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat dalam suatu konflik.
2)      Unit-unit tersebut, mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap, maupun gagasan-gagasan
3)      Terjadi atau terdapat interaksi antara unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat dalam sebuah konflik.

Konflik merupakan suatu tingkah laku yang tidak selalu sama atau identik dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dan/ atau dikaitkan dengannya, seperti rasa kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu, sampai kepada lingkungan yang luas yaitu masyarakat. Pada taraf masyarakat, konflik bersumber pada perbedaan diantara nilai-nilai dan normanorma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma di mana kelompok tersebut berada. Demikian pula konflik dan bersumber dari perbedaan-perbedaan dalam tujuan, nilai dan norma, serta minat yang disebabkan karena adanya perbedaan pengalaman hidup dan sumber-sumber sosial ekonomis di dalam suatu kebudayaan tertentu dengan yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan lain.
Dalam menjalankan peran sebagai pengatur konflik ini, partai-partai politik harus benar-benar mengakar dihati rakyat banyak, peka terhadap bisikan hati nurani masyarakat serta peka terhadap tuntutan kebutuhan rakyat. Dengan munculnya partai partai baru tentu saja persyaratan mengakar di hati rakyat belum bisa terpenuhi dan bahkan boleh dikatakan masih jauh dari harapan. Sedangkan organisasi politik yang lamapun belum tentu telah memiliki akar yang kuat di hati rakyat, mengingat partisipasi politik rakyat masih lebih banyak bersifat semu. Artinya rakyat baru memiliki partisipasi yang nyata adalah pada saat pelaksanaan pemilihan umum, sementara pada proses-proses pembuatan keputusan politik, dan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan politik masih tergolong dalam kategori yang relatif rendah. Meskipun akhir-akhir ini banyak demonstrasi dan kebebasan media massa sangat luas, batasan terhadap akses informasi makin lunak; namun bila dikaji substansi yang dituntut dan disampaikan masih lebih banyak didasarkan pada rekayasa kelompok politik atau elit politik tertentu. Belum cukup marak tuntutan dan suara-suara yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

5.    Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Organisasi Politik dalam Peningkatan Partisipasi politik Masyarakat

Faktor-faktor pendukung bagi penguatan peran organisasi dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

1)      Masih diterimanya Pancasila serta pembukaan UUD 1945 dan keinginan untuk mengamandemen UUD 1945 merupakan wujud kesadaran berpolitik yang berakar kepada demokratisasi.
2)      Masih berjalan dan kuatnya struktur politik dengan semakin mantapnya kearah demokratisasi.
3)      Makin tingginya kesadaran politik masyarakat, ditunjukkan dengan pelaksanaan pemilu yang berlangsung aman, langsung, umum, bebas dan rahasia.
4)      Masih tingginya atensi politik terhadap penyelenggaraan kepemimpinan nasional, menunjukkan sikap mengarah kedewasaan berpolitik.

Faktor-faktor penghambat bagi penguatan organisasi partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

1)      Masih kurang ditaatinya peraturan, perundangan tentang mengeluarkan pendapat dan berkumpul serta masih diragukannya RUU KKN walaupun sudah diperbaiki dan disempurnakan.
2)      Kurangnya dilaksanakan dalam sikap dan tindakan yang lebih mengutamakan kepentingna nasional, dapat mengakibatkan melesetnya arah ketujuan nasional.
3)      Proses demokrasi dengan organisasi yang sangat banyak dapat memungkinkan lambatnya proses politik.
4)      Masih adanya ide sparatis yang justru timbul pada saat situasi politik dan ekonomi lemah, serta dihadapkannya TNI dan Polri dalam front politik serta keamanan yang sangat luas.

1 komentar: